BATANGHARI, JAMBIVIRAL.COM - Kebakaran hebat yang melanda salah satu titik pengeboran minyak ilegal di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin, Dusun Senami, Desa Jebak, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari, belum menunjukkan tanda-tanda mereda hingga pertengahan April 2025. Api terus membara selama hampir dua bulan, memunculkan kekhawatiran publik akan ancaman bencana yang lebih besar.
Sumber api diduga berasal dari sumur minyak milik operator ilegal berinisial Sitanggang, yang dikenal sebagai salah satu tokoh sentral dalam jaringan pengeboran liar di wilayah tersebut. Meski kebakaran telah berlangsung lama, penanganan terhadap insiden ini berjalan lambat, memunculkan kecurigaan adanya campur tangan pihak-pihak tertentu.
Kegiatan ilegal ini bukan hanya mengancam keselamatan warga di sekitar kawasan hutan, tetapi juga merusak ekosistem hutan konservasi yang vital sebagai penyangga lingkungan di Provinsi Jambi. Sejumlah area hutan dilaporkan terbakar, saluran air tercemar limbah minyak, dan habitat satwa terancam punah akibat aktivitas yang tak terkendali.
Berdasarkan informasi yang diterima dari berbagai sumber terpercaya, beredar kabar mengenai praktik gratifikasi dengan skema bagi hasil sebesar 30 persen dari produksi minyak ilegal. Dana ini disebut-sebut digunakan untuk melunakkan sikap oknum media dan sejumlah pihak berwenang, demi menyembunyikan kasus dari sorotan publik.
“Sistem bagi hasilnya dibagi dua: setengah untuk membungkam pemberitaan, sisanya untuk memperlancar proses agar pemilik sumur tidak lagi masuk daftar buronan,” kata seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu, Kepolisian Daerah Jambi telah menetapkan empat orang sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang), yaitu Sitanggang, DK, KT, dan IG. Mereka dianggap sebagai aktor utama dalam operasi pengeboran ilegal yang merambah kawasan konservasi. Penyidikan masih berlangsung, dan aparat berkomitmen menelusuri mata rantai jaringan gelap ini sampai ke akar-akarnya.
Menambah kecurigaan, kehadiran anak Sitanggang di lokasi kejadian memperkuat dugaan bahwa kegiatan di lapangan tetap berjalan di bawah kendali keluarga. Situasi ini menimbulkan keresahan di kalangan warga, terutama dengan potensi penyebaran api saat cuaca ekstrem atau angin kencang melanda.
Tim pemadam gabungan yang terdiri dari relawan, aparat pemerintah, dan pihak konservasi telah melakukan berbagai upaya sejak awal Maret, termasuk penggunaan bahan pendingin dan penutupan sementara sumur. Namun tekanan gas yang tinggi serta kondisi tanah yang labil membuat proses pemadaman sangat sulit dan berbahaya.
Parahnya, pencemaran dari kebocoran sumur telah mencapai aliran sungai kecil yang melintasi kawasan hutan, meracuni sumber air masyarakat dan memicu ancaman kesehatan jangka panjang.
Organisasi lingkungan dan tokoh masyarakat mendesak agar pemerintah dan aparat hukum tidak hanya berfokus pada pelaku lapangan, tapi juga mengejar para penyandang dana dan pengatur strategi di balik praktik pengeboran ilegal ini. Mereka menilai lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi celah utama yang menyebabkan tragedi seperti ini terus berulang setiap tahun.
Kawasan Tahura Senami sejatinya adalah kawasan penting yang berfungsi sebagai paru-paru hijau Jambi dan benteng terakhir untuk menjaga keseimbangan ekologis. Tanpa intervensi tegas dan menyeluruh, termasuk rehabilitasi kawasan rusak serta peningkatan patroli dan pengawasan, masa depan lingkungan dan keselamatan masyarakat berada di ujung tanduk.