Kelima, penggunaan bahasa kasar dan emosional memperlihatkan bahwa tulisan itu tidak lahir dari proses investigasi, melainkan dari ketidaksukaan politik yang dibungkus dalam bentuk tudingan korupsi. Kritik terhadap pemerintah daerah tentu sah, bahkan perlu. Namun ketika kritik berubah menjadi caci maki tanpa data, publik berhak bertanya: siapa yang sebenarnya sedang bermain politik?
Jika benar terdapat indikasi pelanggaran, saluran hukumnya sudah tersedia. KPK, Kejaksaan, dan BPK terbuka menerima laporan asalkan disertai data yang bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang terjadi justru sebaliknya: seruan “KPK harus turun” digunakan sebagai pengganti bukti, seolah-olah sensasi bisa menggantikan verifikasi.
Pada akhirnya, publik perlu cermat membedakan antara laporan investigatif dengan narasi yang sengaja dibumbui untuk memprovokasi. Pengadaan lahan pemerintah adalah proses teknis yang panjang, diawasi berlapis, dan tidak bisa disimpulkan hanya dari prasangka dan emosi.
Membangun Batang Hari membutuhkan kritik, benar. Tapi kritik yang berdiri di atas data, bukan asumsi belaka yang mendorong akuntabilitas,
Lanjut bukan membakar amarah; yang memperbaiki tata kelola, bukan memproduksi fitnah berselubung opini.
Karena di tengah riuhnya informasi hari ini, hal paling berbahaya bukanlah korupsi yang belum terbukti, melainkan manipulasi opini yang dibungkus seperti kebenaran.